Imparsial: RUU TNI Dikhawatirkan Bisa Memperkuat Kembali Dwifungsi ABRI dan Munculkan Potensi Pasal Kudeta

Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) menuai kritik dari berbagai kalangan. Imparsial, sebuah lembaga penelitian yang fokus pada isu-isu keamanan dan hak asasi manusia, menilai bahwa beberapa poin dalam draf revisi tersebut berpotensi mengembalikan dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) dan membuka celah bagi munculnya “pasal kudeta”.

Perluasan Peran TNI dan Potensi Dwifungsi ABRI

Salah satu poin yang disoroti adalah perluasan peran TNI dari semula sebagai alat negara di bidang pertahanan menjadi juga di bidang keamanan. Peneliti Imparsial, Hussein Ahmad, menilai bahwa hal ini mengingatkan pada masa Orde Baru di mana TNI memiliki peran sosial politik. Perubahan ini, menurutnya, dapat menyebabkan tugas-tugas TNI menjadi rancu dan tidak sesuai dengan tujuan pembentukannya sebagai alat pertahanan negara.

Perubahan dalam Jabatan Sipil dan Potensi Konflik Yurisdiksi

Selain itu, draf revisi UU TNI juga mengusulkan penambahan jenis jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit TNI aktif. Pasal 47 ayat (2) yang diubah menjadi mencakup kementerian dan lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai kebijakan Presiden. Imparsial khawatir, perubahan ini dapat menempatkan prajurit TNI aktif dalam jabatan sipil tanpa harus mengundurkan diri dari militer, yang berpotensi menimbulkan konflik kewenangan dan yurisdiksi, terutama jika prajurit tersebut terlibat dalam tindak pidana.

Perpanjangan Usia Pensiun dan Dampaknya

Usulan lain yang menuai kritik adalah penambahan usia pensiun prajurit TNI. Pasal 53 ayat (2) yang mengusulkan perpanjangan masa dinas perwira dari 58 tahun menjadi 60 tahun, serta bintara dan tamtama dari 53 tahun menjadi 58 tahun, dinilai dapat menambah beban anggaran pertahanan, menghambat regenerasi di tubuh TNI, dan menyebabkan surplus perwira tanpa jabatan. Hal ini dapat memperburuk manajemen internal TNI dan mengganggu jenjang karier di institusi tersebut.

Kekhawatiran Terhadap “Pasal Kudeta”

Dalam pembahasan revisi UU TNI sebelumnya, terdapat wacana mengenai “pasal kudeta” yang memungkinkan Panglima TNI mengerahkan personel tanpa persetujuan Presiden. Meskipun tidak ada dalam draf revisi terbaru, kekhawatiran tetap ada mengingat konteks politik saat ini. Revisi UU TNI di tahun politik dinilai perlu diwaspadai agar tidak disalahgunakan untuk kepentingan politik tertentu.

Tanggapan dari Koalisi Masyarakat Sipil

Koalisi Masyarakat Sipil menolak revisi UU TNI yang dianggap dapat mengembalikan dwifungsi ABRI. Mereka menilai bahwa perubahan yang diusulkan tidak sejalan dengan semangat reformasi 1998 yang ingin memisahkan peran militer dan sipil. Masyarakat sipil khawatir bahwa revisi ini dapat melemahkan demokrasi dan memperburuk hubungan sipil-militer di Indonesia.

Penutup

Revisi UU TNI yang tengah dibahas di DPR RI saat ini menimbulkan berbagai polemik dan kekhawatiran. Imparsial dan berbagai elemen masyarakat sipil menilai bahwa beberapa poin dalam draf revisi berpotensi mengembalikan dwifungsi ABRI serta membuka peluang bagi militer untuk terlibat dalam ranah sipil. Penting bagi pemerintah dan legislatif untuk mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak guna memastikan bahwa revisi undang-undang ini tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan reformasi yang telah dicapai.